Wonderful Family : Menjadi Keluarga Bahagia

Semua orang menghendaki keluarga yang bahagia. Namun kadang tidak mengetahui bagaimana mendatangkan kebahagiaan di dalam rumah tangga, bahkan banyak yang salah dalam memahami makna kebahagiaan. Sebagian orang mengira bahagia itu hanya terkait dengan urusan materi semata-mata, sehingga mereka berusaha sekuat tenaga menghadirkan materi sebanyak mungkin untuk membahagiakan keluarga.
Padahal, bahagia itu bukan hanya persoalan material. Kebahagiaan didapatkan dari kondisi spiritual yang kuat, dilengkapi dengan kecukupan material. Bukan hanya itu, namun kebahagiaan harus diraih dengan relasi timbal balik yang positif, antara suami dengan isteri, antara orang tua dengan anak, antara anggota keluarga yang satu dengan lainnya, serta interaksi positif dengan tetangga dan masyarakat sekitarnya.
Untuk melengkapi kebahagiaan dalam rumah tangga, paling tidak diperlukan enam langkah penguat sebagai berikut:
1. Visi yang Kuat
Visi adalah pernyataan luhur atas cita-cita yang ingin dicapai dalam kehidupan berumah tangga. Pada awalnya, masing-masing pihak sebelum menikah memiliki visi tersendiri mengenai keluarga. Namun setelah menikah, harus melebur menjadi satu visi bersama. Setiap keluarga harus mensepakati visi untuk menjadi panduan dalam mengarungi bahtera kehidupan.
Langkah pertama, keluarga harus merumuskan visi bersama. “Hendak dibawa kemana keluarga kita?” itulah pertanyaan tentang visi. Suami, isteri dan anak-anak harus memiliki kesamaan visi keluarga, sehingga mereka bisa berjalan bersama menuju tercapainya visi yang ditetapkan. Visi yang kuat akan mengarahkan bahtera keluarga menuju pulau harapan. Visi yang kuat akan menjaga keluarga untuk selalu “on the track”, tidak menyimpang dari cita-cita.
2. Pembagian Peran Berkeadilan
Langkah kedua, suami dan isteri harus memiliki pembagian peran yang berkeadilan. Relasi suami dan isteri bukanlah majikan dengan bawahan, bukan bos dengan karyawan, namun relasi hati, perasaan, jiwa dan pikiran. Relasi sebagai mitra, sebagai sahabat, sebagai penguat, sebagai pelindung, yang saling melengkapi, saling membantu, saling memahami, saling menjaga, saling melengkapi satu dengan yang lainnya.
Oleh karena itu, suami dan isteri harus berbagi peran agar semua bisa tertunaikan dengan optimal. Amanah di dalam rumah bisa diselesaikan dengan sempurna, demikian pula amanah di luar rumah dapat ditunaikan dengan optimal. Tidak boleh ada satu pihak, suami atau isteri, yang terzalimi karena semua peran dan semua beban menumpuk pada dirinya. Ia menjadi superbody yang harus melakukan semuanya sendirian, sementara pasangannya hanya bersantai dan bermalasan, atau hanya bersenang-senang dan jalan-jalan.
3. Komunikasi Efektif
Langkah ketiga adalah komunikasi efektif. Banyak problem dalam kehidupan rumah tangga yang bermula dari kegagalan berkomunikasi. Suami tidak bisa bicara dengan isteri secara nyaman, demikian pula sebaliknya. Akhirnya mereka menyimpan persoalan diam-diam dan suatu saat meledak menjadi petaka yang bisa merusak keharmonisan keluarga.
Corak komunikasi bisa dipengaruhi oleh sudut pandang “laki-laki dan perempuan”. Ada karakter yang tidak sama antara rata-rata lelaki dan perempuan dalam berkomunikasi dan mengungkapkan pendapat. Apabila senjang komunikasi telah dirasakan dan tidak ada upaya penyelesaian yang kongkret, akan bisa berkepanjangan menjadi problem yang lebih sulit terpecahkan. Rumah tangga tak ubahnya neraka bagi para penghuninya, dan tak memberikan kontribusi kebaikan bagi semua, hanya karena gagal komunikasi.
4. Mengelola Konflik
Langkah keempat adalah mengelola konflik. Konflik adalah bumbu-bumbu kehidupan rumah tangga. Demikianlah ungkapan banyak kalangan masyarakat. Konflik itu sesuatu yang tidak bisa dihindari. Yang bisa dilakukan adalah mengelola konflik dengan tepat sehingga tidak menimbulkan efek negatif atau dampak yang merusak. Demikian pula dalam kehidupan rumah tangga.
Milikilah kesepakatan dengan pasangan, bagaimana langkah keluar dari konflik. Ini prinsip “sedia payung sebelum hujan”. Kesepakatan antara suami dan isteri ini sangat penting dibuat di saat suasana nyaman dan tidak ada konflik. Buat “road map” atau “plan” bagaimana langkah untuk keluar dari konflik. Setiap pasangan akan memiliki karakter yang berbeda dalam pembuatan langkah ini.
5. Mendidik Generasi
Langkah kelima adalah mendidik generasi. Hal yang sangat penting dan fundamental dalam kehidupan berumah tangga adalah kemampuan mendidik generasi. Betapa banyak orang tua yang sedih dan merana karena menyaksikan anak-anak mereka yang tumbuh menjadi nakal dan jahat. Anak-anak yang tidak mengetahui balas budi, bahkan lebih banyak memalukan nama baik keluarga. Akhirnya orang tua tercoreng nama baiknya, dan menjadikan mereka menanggung beban malu di tengah masyarakat.
Ini menunjukkan kabahagiaan tidak akan sempurna apabila tidak disertai dengan kemampuan mendidik anak menjadi salih dan salihah. Dalam hal apakah anak dibiasakan dari kecil dalam rumah tangga, akan sangat menentukan kehidupannya di masa depan. Oleh karena itu, pendidikan nilai harus dimulai dan bertumpu di dalam rumah tangga. Orang tua tidak boleh menitipkan semua proses pendidikan ke lembaga-lembaga pendidikan begitu saja dan merasa telah lepas tanggung jawab.
6. Interaksi Sosial
Langkah keenam adalah memiliki peran dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kita tidak bisa hidup sendiri, dan tidak akan bisa bahagia tanpa orang lain. Di antara faktor yang mendukung terciptanya kebahagiaan adalah apabila memiliki interaksi sosial yang positif di tengah masyarakat. Dengan cara ini, kita akan menjadi orang yang memiliki makna di tengah kehidupan masyarakat, dan bisa menyalurkan berbagai potensi positif yang kita miliki.
Sebagus apapun kondisi rumah tangga anda, akan bisa hilang apabila anda dimusuhi atau dibenci oleh semua tetangga. Oleh karena itu, diperlukan interaksi sosial yang positif yang membuat keluarga anda diterima di lingkungan tetangga dan dalam pergaulan kemasyarakatan.
Selamat menikmati kebahagiaan dalam rumah tangga. Salam Kompasiana.
Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/09/wonderful-family-menjadi-keluarga-bahagia/
Tag :
Keluarga,
YULIANITA RAHMAWATI,
Menumbuhkan Cinta dalam Bulan Ramadhan

Karenanya, Rasulullah SAW dan para sahabat senantiasa menanti-nanti kedatangannya. Generasi terbaik itu selalu melantunkan untaian doa penyambut ramadhan, “Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah usia kami hingga bulan Ramadhan.” Komunitas termula itu dua bulan penuh menyesuaikan alur hidup diri dan keluarganya dengan alur Ramadhan. Nuansa Ramadhan sudah ada dalam kehidupan keluarga mereka semenjak dua bulan sebelum Ramadhan. Mereka mengerti benar bahwa berjuta cinta, nikmat dan ampunan Allah SWT melimpah ruah di dalam Ramadhan. Karenanya, manusia-manusia mulia itu tidak pernah membiarkan detik-detik Ramadhan berlalu tanpa ampunanNya. Ramadhan menjadi puncak keshalihan mereka kepada Allah SWT dan menjadi kebaikan mereka kepada sesama.
Detik-detik Ramadhan adalah detik-detik cinta. Saat kita mampu melewatinya dengan mendekat mesra kepadaNya, akan mengalirkan ke dalam sukma kita cinta dari Dzat Pemilik Cinta. Cinta seperti itulah yang akan membuat kita tak pernah letih menebar kasih kepada sesama. Cinta seperti itulah yang membuat kita menempati ruang istimewa dalam hati sesama. Cinta seperti itulah yang dianugerahkan Allah SWT kepada kekasihNya, Rasulullah SAW, sebagimana yang disampaikan Aisyah, “Rasulullah SAW adalah manusia paling dermawan. Dan beliau semakin dermawan saat bulan Ramadhan.”
Segenap aktifitas ibadah Ramadhan hakikatnya adalah untuk mencintai dan dicintai Allah SWT, Dzat yang menjadi sumber cinta. Cinta itu ada dalam hati manusia dan Allah SWT adalah satu-satunya pemilik kunci hati seluruh manusia. Sehingga kalau kita ingin memenangkan cinta dalam hati pasangan kita, maka kita harus terlebih dahulu mesra dengan Dzat yang menjadi sumber cinta.
Itulah sebabnya mengapa mengakhirkan waktu makan sahur bersama keluarga disunnahkan. Karena ada cintaNya di sana. Itu pula sebabnya mengapa kita dianjurkan untuk menyegerakan berbuka. Karena ada nikmatNya di sana. Demikian pula kita diperbolehkan memadu cinta dengan pasangan kita di malam-malam Ramadhan. karena ada barakahNya di sana. Sebab itu pula mengapa i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan disunnahkan. Karena ada maghfirahNya di sana.
Karena itu aktifitas sahur, berbuka, shalat fardhu, tadarus Al-Qur’an, berzakat, shalat tarawih, i’tikaf dan umrah saat bulan Ramadhan adalah aktifitas cinta. Kita melakukannya karena cinta kepadaNya. Karena itu Ia akan meniupkan ruh cintaNya ke dalam jiwa kita. Tiupan ruh cinta itulah yang kemudian membuat kita menjadi lebih mampu untuk mencintai dan dicintai belahan jiwa dan buah hati kita masing-masing. Semoga karena Dzat Yang Maha Pencinta berkenan mengumpulkan kita dengan keluarga kita masing-masing untuk kemudian berjumpa denganNya di dalam surga Firdaus. Amin.[]
Penulis : H. Hamy Wahjunianto, drh, MM.
Ketua DPW Partai Keadilah Sejahtera (PKS)
Jawa Timur
“inilah nikmatnya dakwah”
Oleh : Dwi Wahyudi, S.Pd
Mau
dibolak balik sampai apapun, mau diputar-putar sampai manapun, dakwah ini
sungguh nikmat. Tak tergantikan. Sangat menyerap masuk dalam relung hati. Mungkin
inilah tabiat jalan dakwah, siapapun yang menempuhnya akan merasakan adanya
ikatan kuat dalam hatinya. Subhanallah… Allahuakbar… hanya Allsh Swt yang tahu
bagaimana mengikat hati-hati kami hingga kami benar-benar cinta dengan dakwah
ini.
“… dan Dia-lah (Allah) Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang
beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi,
niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah
mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.
Al-Anfaal [8] : 63)
Inilah
nikmatnya jalan dakwah. Rasa nimma yang tak Allah berikan kepada semua orang. Rasa
nikmat yang hanya diberikan kepada mereka yang bersungguh-sungguh menempuh
jalan dakwah ini. Terkadang terbesit juga “kapan jalan ini berakhir?”. Sungguh cukuplah
jawaban seorang imam yang mengatakan “Ketika kaki ini menginjakkan di surga”. maka
selelah apapun dirimu saat ini, tetap tegarlah, selalu ingatlah Allah bahwa
kelak surga Allah Swt jauh lebih baik dari seisi dunia ini. “inilah nikmatnya
dakwah”
Ketika
hati-hati itu trpaut, terkadang ada luka menggores, percikan kecil, namun kita
telah mampu meredamnya. Semua itu menjadikan dinamika jalan dakwah. Seperti Rasulullah
saat syuro’ untuk menentukan strategi perang. Salah seorang sahabat usul,
dialah salman al-farisi dengan ide dan gagasannya. Walhasil keputusan syuro
memutuskan untuk menggunakan strategi khondak. Srategi dengan menggali parit.
“inilah
nikmatnya dakwah” yang mungkin bagi sebagian orang aneh. Kita bekerja dengan
jiwa dan harta kita sendiri. Hasilnya pun tak bisa langsung dinikmati, namun
itulah tabiat jalan dakwah. Panjang dan berliku. Butuh kesabaran dan ketabahan.
Butuh keikhlasan dan ketahanan. Semua itu adalah bagian dari kenikmatan dakwah.
“inilah
nikmatnya dakwah” yang melahirkan ukhuwah. Ukhuwah yang takkan kau dapatkan
diujung dunia manapun dank au akan temukan di jalan dakwah ini. Pandangilah wajah
saudaramu, betapa lelah seolah telah menyelimutinya, namun ia masih terus rela
untuk menggunakan energinya, meski energy sisa untuk menghidupkan jalan dakwah
ini. Sungguh lelah itu menjadikan jalan dakwah semakin nimat.
Tak
ada kata lain selain syukur atas jalan dakwah ini… mari kita renungkan…
Tag :
Dakwah,
DWI WAHYUDI,
Menikah Itu Untuk Selamanya
Photo © jask jamaluddin
Jika memperhatikan hasil penelitian Mark Cammack, guru besar dari Southwestern School of Law-Los Angeles, USA, sesungguhnya ada fluktuasi angka perceraian di Indonesia. Berdasarkan penelitian Cammack, pada tahun 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong yang paling tinggi di dunia.
Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir dengan perceraian. Tetapi pada tahun 1970-an hingga 1990-an, tingkat perceraian di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara menurun drastis, padahal di belahan dunia lainnya justru meningkat. Angka perceraian di Indonesia meningkat kembali secara signifikan sejak tahun 2001 hingga 2012 ini.
Kuliah Pernikahan
Untuk menduduki jabatan direktur di suatu perusahaan, seseorang harus menempuh masa pendidikan yang panjang. Dia harus memiliki ijazah tertentu, dengan kompetensi tertentu, dengan ujian tertentu. Setelah dinyatakan memenuhi persyaratan, barulah seseorang dilantik menjadi direktur perusahaan. Namun untuk menjadi direktur keluarga, ternyata tidak disertai dengan masa pendidikan yang memadai.
Sangat banyak hal yang harus dipelajari tentang pernikahan dan keluarga. Seandainya dibuat dalam satuan mata kuliah, sudah bisa menjadi satu fakultas tersendiri di sebuah universitas. Namanya Fakultas Pernikahan. Seluruh kurikulum berisi seluk beluk pernikahan, keluarga, perceraian, dan segala hal yang berhubungan dengannya. Rujukan bukunya sudah sangat banyak beredar di pasaran.
Semestinyalah semua orang yang akan menikah, telah melalui masa kuliah pernikahan, sehingga mengerti berbagai ilmu yang diperlukan untuk membentuk keluarga yang harmonis, sejahtera, produktif dan bahagia. Ketika menikah tanpa berbekal pengetahuan dan pemahaman yang mencukupi, sangat banyak ditemukan fenomena penyimpangan dalam keluarga dalam berbagai bentuknya. Ujungnya adalah kegagalan berumah tangga, perceraian.
Kuliah menjelang pernikahan bisa diselenggarakan oleh Kantor Urusan Agama, atau oleh BKKBN, atau oleh pihak masjid / gereja, atau oleh tokoh agama, atau oleh pihak LSM yang berkompeten. Tujuannya adalah memberikan pembekalan dasar-dasar dan ketrampilan membina rumah tangga. Durasi waktu yang diperlukan sangat fleksibel, sesuai situasi dan kondisi. Namun esensi pembekalan ini yang lebih penting untuk diupayakan. Teknisnya juga bisa sangat variatif.
Menikah Itu Untuk Selamanya
Pernikahan tidak boleh diniatkan untuk jangka waktu tertentu. Saat melaksanakan akad nikah, tidak boleh terbersit ada pikiran untuk membatasi usia pernikahan dalam suatu rentang waktu. Pernikahan tidak boleh bermotivasi coba-coba, atau eksperimen, atau semacam itu.
“Sekarang yang penting nikah dulu, besok kalau tidak cocok ya cerai saja”.
“Sekarang dicoba dulu, kalau bahagia diteruskan, kalau tidak bahagia cerai saja”.
Jangan pernah berpikir untuk bercerai. Jangan ada kalimat “kalau nanti tidak cocok”. Nikah itu diniatkan seumur hidup, selamanya. Bukan suatu eksperimen atau percobaan. Oleh karena itu, dalam menempuh proses dari awalnya, harus disertai kelurusan dan kekuatan motivasi. Pernikahan adalah sebuah gerbang kehidupan, yang akan menentukan corak atau warna seseorang dalam waktu yang lama. Kebaikan atau keburukan seseorang, bermula dari kondisi keluarga.
Pernikahan adalah ibadah. Di dalamnya kita tengah menunaikan ketentuan-ketentuan agama yang sakral. Berhubungan suami isteri saja, dinilai sebagai ibadah. Maka ada adab atau etika yang menyertai prosesi hubungan suami isteri. Kenikmatan yang bisa didapatkan dari hubungan seksual adalah bagian dari rasa kesyukuran kepada kemurahan Tuhan. Karena ada dimensi ketuhanan yang sangat kuat dalam keluarga, tidak layak menjadikan pernikahan sebagai permainan atau coba-coba.
Menghadapi Keguncangan Rumah Tangga
Tidak ada keluarga yang tanpa masalah. Semua keluarga pasti memiliki sejumlahj permasalahan. Namun keguncangan dalam rumah tangga sesungguhnya bisa diselesaikan. Berbagai persoalan, konflik, ketidakcocokan dan lain sebagainya, harus bisa dihadapi dengan sepenuh kesiapan jiwa. Suami dan isteri harus berada dalam posisi yang sama setiap kali bertemu persoalan kerumahtanggaan.
“Ini masalah kamu, bukan masalahku”.
“Kamu yang bermasalah, bukan aku”.
Kalimat-kalimat tersebut sangat arogan dan akan semakin memperuncing permasalahan. Semestinya suami dan isteri saling mendekat, dan bersama-sama mengupayakan jalan keluar dari setiap masalah yang datang. Tidak bersikap saling menyalahkan, tidak bersikap saling melempar kesalahan. Namun memahaminya sebagai persoalan bersama.
“Ini masalah kita berdua. Ayo kita selesaikan bersama”.
Kalimat itu lebih positif dan menyejukkan jiwa. Suami dan isteri harus mampu melampaui setiap persoalan yang datang menghadang, karena memang tidak bisa dihindarkan. Yang bisa kita lakukan adalah menghadapinya dengan pikiran jernih, hati bening, jiwa terbuka, sehingga semua masalah mampu kita jadikan sarana menguatkan rasa cinta dalam keluarga.

Oleh: Cahyadi Takariawan
Akrab disapa Pak Cah, seorang bapak rumah
tangga. Saat ini aktif sebagai trainer dan Konsultan di Jogja Family
Center (JFC), Ketua Dewan Pembina YP2SU, Staf Ahli Pusat Psikologi
Terapan Metamorfosa, Penulis, dan Senior Editor PT Era Adicitra
Intermedia. Telah menulis puluhan buku yang menjadi best seller.
Tag :
Keluarga,
RENY YUSMAWATI,
Memahami Sikap Politik PKS

Dalam koalisi, PKS memang memiliki tempat yang ‘unik’. Di satu sisi, PKS adalah mitra SBY yang telah setia mendukung sejak awal pencalonan. Sebelum SBY menentukan calon wakil presiden, PKS telah menyatakan dukungannya. Ketika itu, PKS bersikap proaktif dengan mengirimkan nama para kader pilihannya untuk dipertimbangkan sebagai wakil presiden. Pengiriman nama itu sendiri kurang tepat jika disebut sebagai lobi politik PKS untuk mendapatkan ‘bagian lebih besar’ dalam pemerintahan, sebab yang meminta usulan nama-nama tersebut adalah SBY sendiri, sebagaimana SBY juga meminta pertimbangan yang sama dari berbagai pihak. Ketika tiba-tiba SBY menentukan pilihannya sendiri, PKS pun tidak mempermasalahkannya, melainkan hanya menyayangkan mengapa SBY membuat keputusan tanpa berbicara dengan mitra koalisinya yang lain.
Dibanding Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), perolehan suara PKS pada Pemilu 2009 lebih signifikan. Oleh karena itu, ketika koalisi pemerintahan SBY-Boediono baru dibentuk, sebenarya PKS adalah mitra yang paling penting bagi Partai Demokrat (PD). Barulah setelah koalisi bergulir cukup lama, Partai Golongan Karya (Golkar) bergabung dan dibentuklah Sekretariat Gabungan (Setgab) sebagai forum untuk berdiskusi dan menampung aspirasi para mitra koalisi.
Golkar, sebagai ‘juara kedua’ dalam Pemilu 2009 yang lalu, membawa serta jumlah dukungan yang sangat besar bagi koalisi. Di satu sisi, keberadaan Golkar dianggap memperkuat koalisi pemerintahan. Akan tetapi, banyak pengamat yang menilai bahwa PD telah mengambil risiko dengan menerima Golkar ke dalam koalisi. Sebab, Golkar dianggap memiliki kekuatan suara dan kemampuan yang cukup untuk mengimbangi dominasi PD dalam koalisi. Belakangan terbukti bahwa Golkar pun tidak selalu sejalan dengan PD, meski tidak ‘senakal’ PKS.
Pukulan telak sebelumnya telah dialami oleh PD dalam kasus yang dikenal sebagai Sidang Paripurna Century. Ketika itu, Golkar, PKS dan PPP mengambil sikap berseberangan, sementara PD hanya ditemani oleh PAN dan PKB. Meski kasus Century hingga kini dianggap minim (untuk tidak mengatakan tidak ada) tindak lanjutnya, namun insiden ini menunjukkan bahwa Golkar memang memiliki kesiapan dan kemampuan untuk mengambil alih kemudi dalam koalisi dan PKS nampaknya tidak merasa sungkan sedikit pun untuk mengambil sikap berlawanan dengan PD.
Pengalaman pahit PD kembali terulang pada Sidang Paripurna yang membahas tentang rencana kenaikan harga BBM yang mulai digelar pada hari Jum’at, 30 Maret 2012. Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM terhambat oleh aksi PKS yang menyampaikan penolakannya secara tegas. Beberapa hari sebelum sidang paripurna, aroma penolakan sebenarnya telah tercium. Dalam pidato politiknya ketika membuka Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKS di Medan, 27 Maret 2012 yang lalu, Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq telah menyampaikan bahwa apabila PKS harus memilih satu di antara dua pilihan, maka tidak mungkin PKS akan meninggalkan rakyat yang telah
membesarkannya.
Setelah itu, usulan-usulan di tubuh PD yang menginginkan dikeluarkannya PKS dari koalisi semakin kencang terdengar. Beberapa tokoh bahkan sudah berani mengatakan bahwa PKS memang sudah dikeluarkan, meski pemberitahuan resminya belum ada. Para analis politik memahami fenomena ini sebagai sikap frustasi koalisi, terutama PD sendiri, yang merasa selalu tidak mendapatkan dukungan PKS ‘di saat-saat genting’.
Makna Koalisi
Polemik yang terjadi sebenarnya timbul karena perbedaan cara memaknai koalisi. Umumnya, koalisi dipahami secara simplistis sebagai penyatuan kekuatan untuk memperoleh dukungan politis yang mampu mendominasi kelompok-kelompok lain. Bagi sebagian pihak lainnya, definisi ini masih kurang, karena tidak menjelaskan batasan-batasan apa saja yang mengikat dalam koalisi tersebut.
PKS memang memiliki perbedaan sikap yang jelas dengan partai-partai koalisi lainnya. PAN, PPP, PKB dan Golkar secara resmi berkoalisi dengan PD bisa dibilang hanya dengan bermodalkan pernyataan belaka. PKS, sebaliknya, sejak awal telah berdiskusi rapat dengan SBY (bukan dengan PD, ini perlu menjadi catatan tersendiri) dan kedua belah pihak telah memiliki kontrak politik yang jelas. Kontrak itulah yang menjadi batasan dari koalisi yang digalang oleh PKS dan SBY. Di luar bahasan yang tercantum dalam kontrak tersebut, maka tidak ada perjanjian untuk berkoalisi. Dapat juga dikatakan bahwa jika ada klausul dalam kontrak tersebut yang dilanggar, maka perjanjian koalisi pun dengan sendirinya batal.
Keberadaan kontrak politik yang menjadi landasan dari koalisi ini menunjukkan bahwa PKS tidak menghendaki ‘kerancuan jati diri partai’ dengan adanya koalisi tersebut. Artinya, koalisi yang memiliki batasan-batasan yang jelas justru menunjukkan bahwa PKS tidak merasa perlu untuk selamanya mengikuti SBY atau siapa pun, sebab koalisi tidak dibangun dalam rangka subordinasi atau kesamaan ideologi, melainkan kesamaan kerangka kerja. Dengan adanya kontrak politik, PKS telah menyatakan siap berkoalisi dengan siapa pun dalam pekerjaan-pekerjaan yang disepakati bersama. Bagi kader dan jajaran pengurus PKS, logika ini sudah sangat dipahami. Hilmi Aminuddin, Ketua Majelis Syuro PKS, dalam bukunya Menghilangkan Trauma Persepsi menulis:
“kita mengembangkan koalisi dengan multipartai di seluruh Indonesia, komitmennya adalah kerja. Kerja membangun daerah, mensejahterakan daerah, memberantas KKN. Kerja-kerja itu yang jadi komitmen dan jadi titik temu. Atau dalam kata lainnya kalimatun sawaa’ bainanaa wa bainakum“.‘Hujan kritik’ yang diterima oleh PKS dari rekan-rekan koalisinya, terutama dari para pengurus PD, justru secara gamblang memperlihatkan bagaimana masing-masing memaknai koalisi itu sendiri. Dalam pandangan PD, sebagai ‘pemenang Pemilu 2009’, rekan-rekan koalisinya haruslah mendukung PD dan SBY tanpa syarat, dan hal itu adalah bukti komitmen dalam koalisi. Adapun rekan-rekan koalisi PD, yang bergabung dalam koalisi tanpa kontrak politik yang jelas sebelumnya, nampaknya tidak berkeberatan menjadi pengikut saja, meski dengan resiko ‘kehilangan kepribadian’. Sedikit pengecualian bisa diberikan kepada Golkar yang jumlah suaranya cukup signifikan dan adakalanya juga ‘membandel’ di dalam koalisi.
Lebih lanjut, kita perlu menganalisis perilaku ‘bandel’ PKS secara obyektif. Apakah pilihan PKS pada kasus Century dan harga BBM tempo hari adalah indikasi lemahnya komitmen PKS dalam koalisi? Untuk menjawab hal ini, kita perlu mengumpulkan beberapa fakta terlebih dahulu.
Paling tidak ada dua kasus yang dapat kita jadikan ukuran. Pertama, dalam kasus pencopotan Suharna Surapranata dari jabatan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) pada akhir tahun 2011 silam. Sebenarnya, PKS dapat mengajukan protes minimal karena dua hal, yaitu karena posisi Menristek merupakan bagian dari kesepakatan awal dengan SBY, dan lebih pentingnya lagi karena Suharna sebenarnya tidak dianggap sebagai salah satu menteri bermasalah oleh para analis. Suharna dapat diperbandingkan dengan menteri-menteri yang dianggap bermasalah pada saat itu, antara lain adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar yang disorot karena setumpuk masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan juga disebut-sebut terlibat dalam dugaan korupsi di Kemenakertrans, Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) Andi Mallarangeng yang dikritisi karena persiapan SEA GAMES yang dianggap kurang matang dan juga disebut-sebut terlibat dalam dugaan korupsi di kementriannya, atau Menteri Perhubungan (Menhub) Freddy Numbery yang dianggap bertanggung jawab atas banyaknya kecelakaan transportasi. Dari ketiga nama ini, hanya Freddy Numbery yang akhirnya dicopot dari jabatannya.
Sikap legowo PKS menunjukkan bahwa PKS memahami sepenuhnya bahwa posisi menteri adalah murni hak prerogatif Presiden. Dengan kondisi berkurangnya jumlah menteri sekalipun, PKS tetap menyatakan komitmennya untuk bekerja bersama-sama di dalam koalisi untuk mewujudkan good governance. Sebaliknya, PKS justru semakin menggaungkan slogan barunya, “Bekerja untuk Indonesia”.
Kasus kedua yang seringkali luput dari perhatian publik adalah pada peristiwa sebelum Sidang Paripurna 30 Maret 2012, yaitu ketika PKS mengirim surat resmi kepada SBY yang berisikan usulan-usulan yang dapat dilakukan untuk melindungi Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN) tanpa harus menaikkan harga BBM. Akan tetapi, semua skenario yang ditawarkan oleh PKS ditolak tanpa ada pembahasan sama sekali.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa PKS sesungguhnya memiliki komitmen yang kuat dalam koalisi mendukung pemerintahan yang dipimpin oleh SBY, dan hal itu ditunjukkannya dengan menawarkan solusi yang telah dibuat oleh tim ahlinya. Amat disayangkan, Presiden tidak memberikan respon untuk setidaknya menyatakan alasan penolakannya terhadap solusi-solusi yang telah ditawarkan PKS. Dapat disimpulkan juga bahwa komitmen PKS sesungguhnya memang kepada butir-butir yang dijelaskan dalam kontrak politik, yang dapat disederhanakan sebagai kesepakatan membangun good governance, dan bukan kepada figur SBY semata. Sebagai komitmen untuk membangun pemerintahan yang baik itulah maka PKS merasa berkewajiban untuk menawarkan solusi pada SBY.
Selanjutnya, karena SBY tidak pernah merespon usulan PKS, maka PKS pun tidak menerima alasan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengubah pendiriannya. Alhasil, sikap PKS dalam Sidang Paripurna 30 Maret 2012 tetap dalam posisi semula, yaitu menolak kenaikan harga BBM. Dalam hal ini, SBY seharusnya memahami komitmen politik PKS terhadap kontrak politik yang dahulu ditandatanganinya. Demi mewujudkan good governance, PKS menyurati Presiden untuk menawarkan solusi, namun demi tujuan yang sama pula PKS terpaksa berseberangan dengan pemerintah dan rekan-rekan koalisinya.
Dalam sebuah orasi politiknya yang disampaikan di Bogor pada bulan Oktober 2011 yang lalu, Sekjen PKS, Anis Matta, telah menyatakan optimismenya akan masa depan PKS. Salah satu alasannya, menurut penuturannya, karena PKS adalah partai yang paling siap menghadapi kultur politik baru yang menghendaki adanya dialog, bukan sekedar instruksi. Kerja sama antar unsur-unsur penting di negeri ini harus dibangun dalam kerangka dialog, termasuk juga dalam hal koalisi. Pernyataan ini menunjukkan bahwa PKS sejatinya memang menghendaki koalisi yang ‘bermartabat’, yaitu koalisi yang tidak menghilangkan kepribadian partai anggota koalisi hanya karena jumlah suaranya lebih sedikit.
Pandangan miring lainnya yang beredar seputar keberadaan PKS dalam koalisi menyatakan bahwa PKS telah menjadi ‘partai amfibi’, karena menjadi anggota koalisi namun rajin mengkritisi pemerintah. Sebagian lagi memandang PKS sebagai partai yang hanya mencari keuntungan, sebab tidak mau menarik menteri-menterinya dari kabinet atau menarik diri dari koalisi, sedangkan sikapnya seringkali berlawanan dengan pemerintah. Opini-opini semacam ini tentu sah belaka, namun agaknya tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Sebab, sebagaimana sikap PD mencerminkan pandangan PD terhadap koalisi, opini ini pun mencerminkan cara berpikir pemiliknya. Dengan mengatakan bahwa PKS hanya mencari keuntungan dengan tidak menarik menteri-menterinya, itu artinya sang pemilik opini justru berpikir bahwa keberadaan menteri-menteri dari parpol hanyalah sebagai ‘mesin uang’ atau sarana untuk mengeruk kepentingan parpol belaka. Jika PKS memiliki pandangan yang sama, tentu konflik yang cukup tajam antara SBY dan PKS sudah terjadi sejak Suharna dicopot dari jabatannya. Meskipun tidak dipungkiri bahwa kemungkinan besar ada parpol-parpol yang menganggap menteri sebagai ‘mesin uang’, namun cara berpikir yang demikian sudah semestinya dihentikan.
PKS, Natsir dan Hamka
Sebagian kalangan aktivis Muslim hingga detik ini masih sulit menerima keputusan PKS untuk berkoalisi dengan SBY. Dalam pandangan mereka, sikap ini menunjukkan ketidakmurnian perjuangan PKS, karena berkoalisi dengan parpol-parpol yang dianggap lemah komitmennya terhadap Islam. Meski demikian, kebanyakan di antara mereka tidak dapat mempertahankan konsistensi hipotesisnya tersebut ketika menyaksikan bagaimana PKS secara sistematik terus melancarkan kritik yang konstruktif kepada pemerintah.
Dalam sejarah politik Islam, PKS bukanlah yang pertama mendukung pemimpin yang tidak dikenal karena komitmen keislamannya. Moh. Natsir, ulama-negarawan yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia (RI), juga bekerja di bawah kepemimpinan Soekarno yang dikenal sekuler. Dalam biografi M. Natsir, Ajip Rosidi mengungkapkan betapa tajamnya perbedaan pandangan antara Soekarno dan Natsir yang terwujud dalam penulisan artikel. Peristiwa saling berbalas artikel itu terjadi sebelum kemerdekaan RI. Artinya, ketika Natsir menerima amanah sebagai Perdana Menteri, ia telah lama bersilang pendapat dengan Soekarno.
Moh. Natsir menunjukkan komitmennya terhadap tugas. Tidak main-main, ia kemudian menjadi orang kepercayaan Soekarno yang dianggapnya pasti mampu menstabilkan pemerintahan. Kepemimpinan Natsir tidak hanya mengundang simpati dari masyarakat Indonesia, melainkan juga mendapat perhatian dari banyak jurnalis luar negeri. Di dunia Islam, nama Natsir dikenal sebagai representasi dari Indonesia. Konsistensi Natsir dalam bekerja tidak bersumber dari komitmennya kepada pribadi Soekarno, melainkan demi kepentingan umat. Natsir memandang amanah yang diterimanya sebagai kesempatan emas untuk menolong umat memperoleh kesejahteraannya. Oleh karena itu, meski harus rela dipimpin oleh Soekarno yang dalam banyak hal berbeda seratus delapan puluh derajat dengan dirinya, Natsir tetap menjalankan tugasnya semaksimal mungkin.
Sahabat Natsir, yaitu Buya Hamka, memiliki pengalaman yang serupa tapi tak sama. Berbeda dengan Natsir, Hamka cenderung tidak memiliki ketertarikan dalam dunia politik, meski kiprahnya di Masyumi sama sekali tak dapat dipandang sebelah mata. Setelah Masyumi dibubarkan secara paksa oleh Orde Lama, Natsir – sebagai politikus – diawasi penuh oleh Orde Lama, dan Orde Baru pun tak mengijinkan Masyumi untuk tampil kembali. Oleh karena itu, Natsir ‘banting stir’ dengan mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang berkiprah dalam bidang dakwah praktis. Nasib Hamka agak berbeda. Meski sempat dipenjara selama dua tahun oleh Orde Lama, namun ia relatif tidak dianggap sebagai politikus oleh Orde Baru. Karenanya, ketika Presiden Soeharto memprakarsai berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI), ia secara pribadi meminta Hamka untuk menjadi Ketua MUI yang pertama.
Buya Hamka, sebagai ulama yang tidak tertarik dengan dunia politik, tidak terbiasa menjilat pemerintah, namun juga tidak selalu menentangnya. Dalam segala hal yang baik, Hamka senantiasa siap memberikan dukungan. Akan tetapi dalam hal-hal yang buruk, Hamka tidak ragu menolaknya. Puncak dari pertentangan antara Hamka dengan pemerintah Orde Baru terjadi ketika MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan perayaan Natal bersama. Buya Hamka, yang ditekan habis-habisan karena fatwa tersebut, akhirnya memilih untuk mengundurkan diri.
Dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, Rusydi Hamka menuturkan kata-kata Buya Hamka yang disampaikannya kepada sahabatnya, M. Yunan Nasution, tak berapa lama setelah ia mengundurkan diri dari jabatan Ketua MUI:
“Waktu saya diangkat dulu tak ada ucapan selamat, tapi setelah saya berhenti, saya menerima ratusan telegram dan surat-surat mengucapkan selamat.”Moh. Natsir dan Buya Hamka agaknya dapat dijadikan cermin oleh PKS. Keduanya menunjukkan komitmen yang kuat dalam mendukung pemerintah; bukan komitmen kepada pribadi-pribadi yang menjabat itu, melainkan komitmen pada upaya membangun pemerintahan yang mensejahterakan rakyatnya. Keduanya pun menjadi contoh bagaimana harus bersikap dan menyesuaikan diri, baik sebagai bagian dari pemerintahan yang sah ataupun ketika dikeluarkan dari lingkaran kekuasaan. Sebagaimana yang dialami Buya Hamka dulu, PKS kini justru menuai pujian ketika rekan-rekan koalisinya mencela. Dikeluarkan dari koalisi atau tidak, PKS telah menunjukkan sikap politiknya yang tegas dan berkepribadian.

Oleh: Akmal Sjafril
Pria lulusan S1 Teknik Sipil ITB ini dikenal
luas sebagai blogger dan peserta Program Kaderisasi Ulama Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII). Setelah bukunya yang berjudul Islam Liberal
101 meledak di pasaran, ia kini aktif menjadi narasumber untuk
masalah-masalah pemikiran Islam di berbagai media.
Sumber : Fimadani.com
Tag :
DWI WAHYUDI,
politik,
"Ats-Tsabat".. Izzatu Junudid Da’wah (Harga Diri Seorang Kader Dakwah)
"Ats-Tsabat"
Kami selalu membangun dan berkemauan
Kami pasti akan mati tapi kami pantang hina
Kami punya tangan dan mau bekerja
Kami punya hari esok dan harapan
Dan Kami selamanya orang merdeka dan pantang menyerah
Saat ini kita memasuki era di mana tantangan dan peluang sama-sama
terbuka. Dapat binasa lantaran tidak tahan menghadapi tantangan atau ia
berjaya karena mampu membuka pintu peluang seluas-luasnya. Karena itu
kita dituntut untuk bersikap tsabat dalam kondisi dan situasi apapun.
Senang maupun susah, sempit ataupun lapang. Tidak pernah tergoda atau
tertekan untuk lari dari jalan dakwah.
Tsabat bermakna teguh pendirian dan tegar dalam menghadapi ujian serta
cobaan di jalan kebenaran. Dan tsabat bagai benteng bagi seorang kader.
Ia sebagai daya tahan dan pantang menyerah. Ketahanan diri atas berbagai
hal yang merintanginya. Hingga ia mendapatkan cita-citanya atau mati
dalam keadaan mulia karena tetap konsisten di jalan-Nya.
Dalam Majmu’atur Rasail, Imam Hasan Al Banna menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan tsabat adalah orang yang senantiasa bekerja dan berjuang
di jalan dakwah yang amat panjang sampai ia kembali kepada Allah SWT.
dengan kemenangan, baik kemenangan di dunia ataupun mati syahid.
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah SWT. maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya”. (Al- Ahzab: 23).
Sesungguhnya jalan hidup yang kita lalui ini adalah jalan yang tidak
sederhana. Jauh, panjang dan penuh liku apalagi jalan dakwah yang kita
tempuh saat ini. Ia jalan yang panjang dan ditaburi dengan halangan dan
rintangan, rayuan dan godaan. Karena itu dakwah ini sangat memerlukan
orang-orang yang memiliki muwashafat ‘aliyah, yakni orang-orang yang
berjiwa ikhlas, itqan (profesional) dalam bekerja, berjuang dan beramal
serta orang-orang yang tahan akan berbagai tekanan. Dengan modal itu
mereka sampai pada harapan dan cita-citanya.
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan dan orang-orang
yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji dan orang-orang yang bersabar dalam kesempitan, penderitaan dan
dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan
mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (Al Baqarah: 177).
Disamping itu, dakwah ini juga senantiasa menghadapi musuh-musuhnya di
setiap masa dan zaman sesuai dengan kondisinya masing-masing. Tentu
mereka sangat tidak menginginkan dakwah ini tumbuh dan berkembang.
Sehingga mereka berupaya untuk memangkas pertumbuhan dakwah atau
mematikannya. Sebab dengan tumbuhnya dakwah akan bertabrakan dengan
kepentingan hidup mereka. Oleh karena itu dakwah ini membutuhkan
pengembannya yang berjiwa teguh menghadapi perjalanan yang panjang dan
penuh lika-liku serta musuh-musuhnya. Merekalah orang-orang yang
mempunyai ketahanan daya juang yang kokoh.
Kita bisa melihat ketsabatan Rasulullah SAW menghadapai berbagai tantangan dakwah...
‘Demi Allah, wahai pamanku seandainya mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan dakwah ini. Niscaya tidak akan aku tinggalkan urusan ini sampai Allah SWT memenangakan dakwah ini atau semuanya akan binasa’.
Demikian pula para sahabatnya ketika menjumpai ujian dan cobaan dakwah,
mereka tidak pernah bergeser sedikitpun langkah dan jiwanya.
Kita dapat juga saksikan peristiwa yang menimpa umat Islam pada masa
Khalifah Al Mu’tsahim Billah tentang fitnah dan ujian ‘khalqul Qur’an’.
Imam Ahmad bin Hambal sangat tegar menghadapi ujian tersebut dengan
tegas ia menyatakan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk
sebagaimana yang didoktrin oleh Khalifah. Dengan tuduhan sesat dan
menyesatkan kaum muslimin Imam Ahmad bin Hambal menerima penjara dan
hukum pukulan dan cambukan. Dengan ketsabatan beliau kaum muslimin
terselamatkan aqidah mereka dari kesesatan.
Demikian pula kita merasakan ketegaran Imam Hasan Al Banna dalam
menghadapi tribulasi dakwahnya. Ia terus bersabar dan bertahan. Meski
akhirnya ia pun menemui Rabbnya dengan berondongan senajata api. Dan
Sayyid Quthb yang menerima eksekusi mati dengan jiwa yang lapang
lantaran aqidah dan menguatkan sikapnya berhadapan dengan tiang
gantungan. Beliau dengan yakin menyatakan kepada saudara perempuannya,
‘Ya ukhtil karimah insya Allah naltaqi amama babil jannah. (Duhai
saudaraku semoga kita bisa berjumpa di depan pintu surga kelak’).
***
Saat ini kita memasuki era di mana tantangan dan peluang sama-sama
terbuka. Dapat binasa lantaran tidak tahan menghadapi tantangan atau ia
berjaya karena mampu membuka pintu peluang seluas-luasnya. Karena itu
kita dituntut untuk bersikap tsabat dalam kondisi dan situasi apapun.
Senang maupun susah, sempit ataupun lapang. Tidak pernah tergoda atau
tertekan untuk lari dari jalan dakwah.
Tsabat tidak mengenal waktu dan tempat, dimana pun dan kapan pun. Kita
tetap harus mengusung misi dan visi dakwah kita yang suci ini. Untuk
menyelamatkan umat manusia dari kehinaan dan kemudharatan. Dengan jiwa
tsabat ini kader dakwah memiliki harga diri di mata Allah SWT. maupun di
mata musuh-musuhnya. Melalui sikap ini seorang kader lebih istimewa
dari pada kebanyakan orang. Dan ia menjadi citra yang tak ternilai
harganya.
Imam Hasan Al Banna menegaskan,
Kalau begitu bagaimana bangunan tsabat yang kita miliki?
‘Janganlah kamu merasa kecil diri, lalu kamu samakan dirimu dengan orang lain. Atau kamu tempuh dalam dakwah ini jalan yang bukan jalan kaum mukminin. Atau kamu bandingkan dakwahmu yang cahayanya diambil dari cahaya Allah dan manhajnya diserap dari sunnah Rasul-Nya dengan dakwah-dakwah lainnya yang terbentuk oleh berbagai kepentingan lalu bubar begitu saja dengan berlalunya waktu dan terjadinya berbagai peristiwa. Kuncinya adalah Tsabat dalam jalan dakwah ini’.
Kalau begitu bagaimana bangunan tsabat yang kita miliki?
SUmber : :: PKS PIYUNGAN | BLOG PARTAI KEADILAN SEJAHTERA ::
Di jalan Dakwah: Ada yang Masa Bodoh, Tapi Allah Sangat Peduli
Dwi Budiyanto
Di jalan dakwah kita bisa mengenakan identitas yang sama. Di jalan dakwah kita bisa dikenali lewat seragam dan tampilan-tampilan luar kita.
Mengenali tampilan fisik memang lebih mudah. Itulah sebabnya, kita pun
sering salah menilai. Padahal, jika kita menelisik lebih dalam, mereka
yang 'berseragam sama' menyimpan kualitas diri yang berbeda. Di jalan
dakwah ada yang berdarah-darah, tapi ada pula yang bersikap masa bodoh.
Di jalan dakwah ada yang berkorban habis-habisan, tapi ada pula yang
sedikit pun telah terasa berat ditanggungkan.
Seseorang memang bisa mengenakan seragam Timnas kita, lengkap dengan
nomor punggung dan nama pemain. Akan tetapi, jika ia berdiri di tribun,
berteriak sekencang apapun, ia tetaplah penonton dan bukan pemain. Saya
sering merasa sedih, jangan-jangan saya tak lebih dari sekedar penonton
dan bukan pemain di jalan dakwah ini. Orang mengenal saya sebagai pegiat
di jalan dakwah, tetapi kenyataannya saya bermental penonton saja.
Salah satu ciri 'mental penonton' adalah masa bodoh. Mereka bersorak di
luar lapangan, tapi minim kontribusi dalam pertandingan. Apakah tidak
penting keberadaan penonton? Tentu saja penting. Tapi di jalan dakwah
kita semestinya bersikap sebagai pemain. Keterlibatannya optimal.
Pengorbanannya juga maksimal. Seringkali frekuensi kita dengan sesama
ikhwah tidak sama. Sebagian orang sudah berlari, kita masih santai
berdiam diri. Banyak orang sudah bergerak, kita masih berdiri tegak.
Kenapa? Wallahu a'lam. Lebih baik kita menelisik diri sendiri. Jangan
sampai kita menjadi 'toxic cadre' -- kader-kader beracun
dan bermasalah. Hilang orientasi, lemah kontribusi. Maka, baik kiranya
jika kita memperluas acuan. Di luar diri kita ada banyak ikhwah yang
penuh keterbatasan, tapi berkorban sepenuh jiwa raga.
Ada guru SDIT yang menyanggupi perbulan 200 ribu untuk pemenangan
dakwah. Kita bisa bertanya-tanya berapa gaji yang beliau dapatkan?
Berapa yang masih tersisa setelah dikurangi 200 ribu itu? Sementara kita
memberi dua ratus ribu yang sama terasa berat dan sudah menganggap
besar. Padahal, income yang diperoleh jauh lebih besar dibanding sang
guru itu. Kita sering bersikap masa bodoh, tapi sang guru itu punya
keyakinan lain: Allah ta'ala pasti sangat peduli.
Kisah-kisah lain yang dapat dijadikan acuan saya kira banyak. Kenali dan
simak dengan seksama agar kita memiliki frekuensi yang sama dalam
berjuang dan berkorban. Orang boleh menuduhkan banyak hal tentang dana
dakwah kita, tapi kita sangat paham bahwa dari kantong-kantong kitalah
dakwah ini dihidupi. Menyimak pengorbanan banyak ikhwah yang ikhlas itu,
rasa-rasanya kita perlu menelisik seberapa besar kita telah berkorban.
Jika kita menganggap bahwa yang kita lakukan telah optimal,
jangan-jangan kita hanya kurang acuan saja? Masih banyak ikhwah yang
jauh lebih lelah di jalan dakwah. Jika uang yang diinfakkan di jalan
dakwah ini telah dianggap banyak, jangan-jangan karena kita kurang
referensi saja. Ada banyak ikhwah yang berkorban maksimal di tengah
keterbatasan dirinya.
Teringat kita pada Ulbah bin Zaid, salah seorang dari tujuh sahabat yang
datang kepada Rasulullah sambil menangis. Al Bakka'un, sebutan tujuh
orang itu. Mereka datang hendak meminta kendaraan agar bisa turut serta
dalam Perang Tabuk. Sayang permintaan itu tak terpenuhi sebab beliau
tidak memiliki sesuatu yang dapat membawa mereka. Mereka kembali sambil
berlinang air mata.
Malam harinya Ulbah bin Zaid berdoa, "Ya Allah, Engkau telah
memerintahkan berjihad maka akupun mencintainya. Kemudian Engkau tidak
jadikan untukku apa yang menguatkanku dalam jihad ini, dan Engkau juga
tidak menjadikan pada Rasulullah kendaraan yang dapat membawaku dalam
jihad ini. Dengan ini aku bersedekah terhadap setiap muslim dengan
kedzaliman mereka yang menimpaku baik pada harta, jasad, dan
kehormatan."
Pagi harinya, tatkala ia bersama sahabat lain, Rasulullah bertanya,
"Dimanakah orang yang bersedekah semalam?" Tapi tak seorang pun berdiri.
Rasul kembali bertanya dan berdirilah Ulbah bin Zaid. "Bergembiralah,"
kata Rasulullah, "Sedekahmu telah diterima."
Kisah tentang Ulbah bin Zaid adalah kisah tentang kepedulian di jalan
dakwah. Lelaki dari Bani Haritsah itu tidak memilih untuk bersikap masa
bodoh. Di tengah keterbatasannya, ia ingin berkiprah. Tangis Ulbah bin
Zaid adalah tangis kepedulian di jalan kebenaran. Tak mengherankan jika
Allah abadikan kisahnya dalam Al-Quran surah at-Taubah ayat 92. Hari ini
kita memperlajarinya.
Di jalan dakwah, ada banyak yang bersikap masa bodoh, tapi yakinlah bahwa Allah sangat peduli. []
*Penulis: @dwiboediyanto on twitter
Sumber : :: PKS PIYUNGAN | BLOG PARTAI KEADILAN SEJAHTERA ::
10 Langkah Menyambut Bulan Suci Ramadhan

Hari ini kita
tengah berada di penghujung bulan Sya’ban 1434 Hijriyah dan sebagian
dari kaum Muslimin sudah memasuki bulan Ramadhan dengan menjalankan
Ibadah Puasa pada hari ini. Ini artinya, kita akan (sedang) berjumpa
dengan tamu agung, tamu istimewa yang paling ditunggu-tunggu
kedatangannya; dia adalah “Ramadhan Mubarak”
Agar Ramadhan yang akan (sedang) kita lalui menjadi lebih istimewa dan
lebih bermakna dari Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, berikut 10 langkah
yang harus kita persiapkan untuk menyambut kedatangannya:
1. Berdoa kepada Alloh
Berdoalah agar Alloh Subhanahu wa Ta’ala agar memberikan kesempatan
kepada kita untuk bertemu dengan bulan Ramadan dalam keadaan lebih baik
dari Ramadhan tahun lalu.
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِى رَمَضَانَ
Ya Alloh berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, serta berkahilah kami dalam bulan Ramadhan (HR. Ahmad).
2. Bersyukur atas Nikmat Alloh
Di antara nikmat terbesar yang diberikan Alloh kepada seorang hamba
adalah ketika dia diberikan kemampuan untuk melakukan ibadah dan
ketaatan. Dan atas semua nikmat tersebut, kita wajib mensyukurinya.
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim : 7)
Nikmat yang paling besar bagi orang yang beriman adalah ketika mereka
mendapati bulan Ramadhan. Bulan inilah yang menjadikan Rasulullah dan
para Sabahat menangisi karena tiga hal:
- Pertama, mereka menagis karena berharap dapat dipertemukan dengan Ramadhan
- Kedua, mereka menangis lantaran ingin mendapatkan kemuliaan pada saat menjalankan Ibadah di bulan Ramadhan. Dari setiap mereka, selalu dan selalu berharap agar mendapati “Lailatul Qadar“, malam yang lebih baik dari 1.000 bulan.
- Ketiga, mereka menangis pada saat bulan Ramadhan hampir meninggalkannya, yakni di saat bulan Ramadhan berada pada penghujung akhir
3. Bergembiralah Menyambut Kedatangan Bulan Ramadan
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu memberikan kabar gembira kepada para Sahabat setiap kali datang bulan Ramadan;
“Telah datang kepada kalian bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah.
Alloh telah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu
Alloh membuka pintu-pintu surga dan menutup pintu-pintu neraka.” (HR. Ahmad).
Karena sesungguhnya, kegembiraan hati itu adalah sebagai perwujudan rasa suka-cita dan penuh pengharapan atas kedatangannya.
4. Persiapkan Ruhiyah (Keimanan)
Mempersiapkan Ruhiyah dapat kita lakukan dengan cara membersihkan hati
dari penyakit aqidah sehingga melahirkan niat yang ikhlas, serta
mempertebal keimanan dengan banyak membaca buku-buku yang mengupas
tentang “Keutamaan Ibadah di Bulan Ramadhan”
Alloh SWT menegaskan pentingnya membersihkan hati (tazkiyatun nafs) dalam firman-Nya:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya (QS. Asy-Syams : 9)
Di samping itu, untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan tentang “Ramadhan”, baiknya lebih sering menghadiri majelis ilmu yang membahas tentang keutamaan, hukum, dan hikmah puasa. Dengan demikian, secara mental kita akan siap untuk melaksanakan segala ibadah dan ketaatan pada bulan Ramadan.
5. Persiapkan Fikriyah (Pengetahuan)
Wajib bagi setiap mukmin beribadah dengan dilandasi ilmu, termasuk ilmu
tentang ibadah puasa Ramadhan agar puasa kita benar dan diterima oleh
Alloh. Pelajarilah hukum-hukum dan ketentuan syar’i tentang amalan
ibadah di bulan Ramadan.
Untuk itu kita bisa mengkaji Fiqih Sunnah-nya Sayyid Sabiq, Fiqih
Puasa-nya Dr. Yusuf Qardahawi, dan lain-lain. Pemahaman ilmu syar’i ini
juga merupakan tanda kebaikan yang dikehendaki Alloh terhadap seseorang.
Karenanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
Barangsiapa yang dikehendaki Alloh akan kebaikan maka ia difahamkan tentang (ilmu) agama(Muttafaq ‘Alaih)
Sehingga, jangan pernah terpikirkan oleh kita untuk menyia-siakan waktu yang Alloh berikan kepada kita. Karena “Waktu itu ibarat pedang, bila ia tidak kau pergunakan dengan baik maka ia akan membunuhmu“
6. Persiapkan Jasadiyah (Fisik)
Ramadhan membutuhkan persiapan jasadiyah yang baik. Hal ini perlu
diperhatikan karena Ramadhan menciptakan siklus keseharian yang berbeda
dari bulan-bulan sebelumnya. Di bulan Ramadhan, diharapkan kita tetap
produktif dengan pekerjaan kita masing-masing meskipun dalam kondisi
berpuasa. Karenanya kita perlu mempersiapkan jasadiyah kita dengan
berolah raga secara teratur, menjaga kesehatan badan serta senantiasa
menjaga kebersihan lingkungan.
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ
Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Alloh daripada mukmin yang lemah(HR. Muslim)
Karena, “Tubuh yang kuat itu dilahirkan dari jiwa-jiwa yang sehat“.
7. Persiapkan Maliyah (Keuangan)
Persiapan keuangan yang diperlukan dalam menyambut bulan Ramdhan bukanlahuntuk
membeli baju baru, kue-kue lezat untuk Idul Fitri dan lain-lain. Kita
justru memerlukan sejumlah dana untuk memperbanyak infaq, memberi ifthar
(buka puasa) orang lain dan membantu orang yang membutuhkan.
Tentu saja bagi yang memiliki harta yang mencapai nishab dan haul wajib
mempersiapkan zakatnya. Bahkan, jika kita mampu ber-Umrah di bulan
Ramadhan merupakan ibadah yang bernilai luar biasa; seperti nilai haji
bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
8. Merancang Agenda dan Mengisi Ramadan dengan Penuh Ketaatan
Rancanglah agenda kegiatan untuk mendapatkan manfaat sebesar mungkin
dari bulan Ramadan. Ramadhan sangat singkat, karena itu hiasi setiap
detiknya dengan amalan yang berharga, yang bisa membersihkan diri, dan
mendekatkan diri kepada Alloh. Ber’amal di bulan puasa akan
dilipatgandakan pahalanya oleh Alloh S.W.T berkali-kali lipat, bahkan
hingga 700 kali lipatnya.
9. Sambut Ramadan dengan tekad meninggalkan dosa dan kebiasaan buruk
Bertaubatlah secara benar dari segala dosa dan kesalahan. Ramadan adalah
bulan Taubat dan bulan Maghfirah. Dengan keluasan rahmat Alloh, kita
jadikan bulan Ramadhan untuk memohon maaf serta memohon ampunan atas
dosa-dosa yang pernah kita lakukan.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena Iman dan ketaqwaan, maka Alloh akan hapuskan dosa-dosanya di masa lalu” (HR. Bukhori-Muslim)
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Alloh, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” [Q.S. An-Nur (24): 31]
10. Membuka Lembaran Baru yang Lebih Baik
Sambutlah Ramadan dengan membuka lembaran baru, lembaran kehidupan yang
lebih baik, yang lebih bersih dan lebih bermakna tentunya. Karena orang
yang beruntung adalah “Seorang yang mendapati keimanannya hari ini lebih baik dari kemarin…”.
Kita perbaiki lembaran kehidupan yang baru itu, dengan cara:
- Kepada Alloh, perbaiki keimanan dan ketaatan kita dengan memperbanyak istighfar dan mengingati-Nya di setiap waktu dan kesempatan serta dengan lebih banyak lagi beramal sholeh
- Kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam, perbaiki rasa cinta kepada beliau dengan melanjutkan risalah dakwahnya, memperbanyak Sholawat serta lebih giat menjalankan sunnah-sunnah yang diajarkan kepada kita
- Kepada orang tua, perbaiki rasa hormat dan ungkapan bakti kita dengan mendoakan ampunan dan keselamatan atas mereka, memberikan dukungan atas apa yang mereka harapkan, serta meminta maaf atas segala khilaf kita di waktu kecil hingga dewasa
- Kepada Keluarga (istri-suami-anak), tingkatkan perhatian dan kasih sayang kepada mereka. Kerikanlah kepada mereka hadiah. Karena dengan memberikan hadiah akan tumbuh rasa cinta. Sebagaimana sabda Rasulullah: “Yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik adalah yang paling baik kepada keluarganya“.
- Kepada karib kerabat, perbaiki kualitas persaudaraan itu dengan lebih mempererat hubungan silaturrahmi. Menyambung tali silaturrahmi tidak harus datang secara langsung, meskipun itu adalah cara yang lebih ahsan. Dengan teknologi, kita dapat meningkatkan kualitas persasudaraan walaupun dengan sekedar menyapanya melalui SMS, Email, Facebook, Twitter maupun media yang lainnya.
- Kepada masyarakat, dengan membulatkan tekad untuk menjadi orang yang paling bermanfaat bagi mereka. Sebab, sebagaimana Pesan Rasulullah: “Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain“.
- Kepada diri sendiri, dengan berjanji untuk meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat, apalagi yang dapat menimbulkan dosa serta bertekad untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri pada seluruh aspek yang ada pada diri kita.
Dengan menjalankan ke-10 langkah tersebut, semoga Alloh S.W.T. menyambut
langkah kita dengan berlari, dengan segenap curahan rahmat-Nya, dan
menjadikannya kita sebagai hamba yang Muttaqien, hamba yang layak untuk
mencium Wanginya Jannah. Amiin.. 3x.
Semoga bermanfaat… :)
_________________
Oleh: Sang Purnama
*http://politik.kompasiana.com/2013/07/09/10-langkah-untuk-menyambut-ramadhan-yang-lebih-baik-575584.html
Tag :
LUQMAN HAKIM,
Tausyiah,