- Back to Home »
- Dakwah »
- Beginilah Kita Meyakini Allah
Selasa, 09 Juli 2013
Dwi Budiyanto
Jogja
***
Orang-orang yang beriman pada Allah memiliki keyakinan yang kuat bahwa
apapun yang menimpa dirinya merupakan skenario terbaik yang ditentukan
Allah ta’ala. Orang lain bisa saja menganggap kegagalan atau pun
keterpurukan, tapi tidak halnya dengan keyakinan mereka yang beriman.
Setiap skenario Allah bagi kita, insya Allah, merupakan kebaikan. Itu
kita yakini sepenuhnya, meskipun Allah tidak sekalipun membeberkan alur
ceritanya. Inilah yang dapat kita pelajari dari perjalanan hidup para
nabi. Mereka jalani hidup dengan keyakinan.
Yusuf a.s. misalnya, tak secuilpun mengetahui alur cerita hidup yang
akan dijalaninya. Ia menjadi tenang bukan karena mengetahui detail tiap
episode kehidupannya. Ia menjadi tenang karena keyakinan yang kuat pada
Allah. Perhatikanlah kisahnya. Betapa episode hidupnya selalu berupa
ujian demi ujian. Dalam usianya yang masih belia, Yusuf harus berhadapan
dengan konspirasi kedengkian saudara-saudaranya (Qs. Yusuf: 7). Anak
itu dimasukkan ke dasar sumur. Sebuah cover story-pun diciptakan agar
meyakinkan sang ayah bahwa Yusuf mati. Rekayasa fakta dan bukti pun
digelar. “Mereka datang dengan membawa baju gamisnya dengan darah palsu
(Qs. Yusuf: 15-18).
Ibnu Katsir dalam “Qishashul Anbiya” mengisahkan bahwa saudara-saudara
Yusuf lupa mengoyak baju Yusuf. Mereka hanya melumurinya dengan darah
palsu. “Oleh karena itu,” jelas Ibnu Katsir, “bahaya sebuah kedustaan
adalah lupa!” Barangkali dalam bahasa kita: cacat sebuah konspirasi
adalah ‘ketidakcermatan’ merangkai fakta dan menghadirkan bukti. Sekali
lagi, Yusuf tak pernah mengetahui alur cerita hidupnya setelah itu. Ia
hanya yakin Allah pasti akan berikan jalan keluar.
Ketika setelahnya, ia ditemukan para musafir bernama Malik bin Za’ar dan
Nuwait bin Madyan, seperti diungkapkan Ibnu Abbas, lalu dijual kepada
Athfiir bin Rauhib (sebagaimana disebutkan Ibnu Ishaq), Yusuf sendiri
tak mengetahui pasti alur kisah hidupnya. Bahwa kelak ia akan didera
oleh konspirasi berbalut asmara dan akhirnya berujung pada kehidupannya
di istana, sama sekali tak pernah diketahuinya. Yang ada hanya keyakinan
bahwa akhir dari seluruh cerita itu adalah kebaikan. Itulah sebabnya,
alangkah anggunnya kita untuk tidak menilai orang lain dari sepotong
episode hidupnya yang belum tentu berakhir, apalagi men-justifikasinya
dengan label-label keburukan. Kita tak pernah mengetahui skenario utuh
yang dirancang Allah ta’ala.
Begitu pula kalau kita cermati kehidupan Musa a.s. Semua cerita hidupnya
tidak ada yang kebetulan. Semua berada dalam rencana Allah ta’ala.
Ujian, fitnah, kegagalan, atau bentuk lainnya adalah episode dalam
kehidupan, sebagaimana juga episode itu akan bercerita tentang
kesuksesan, kebahagiaan, kenyamanan, dan sebagainya. Kita hanya meyakini
bahwa selama seseorang berada dalam keimanan, setiap momentum dan
peristiwa yang menimpanya, hanya akan berujung kebaikan.
Maka, kisah tentang Yusuf di atas, memasuki episode yang menggembirakan.
Sang raja berkata, “Sesungguhnya kamu (mulai hari ini) menjadi orang
yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” (Qs. Yusuf:
54-57).
Wa kadzalika makkannaa liyuusufa fil ardli – Dan, demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir.
Yusuf a.s. berpisah dengan ayahnya ketika berusia 17 tahun. Perpisahan
selama delapan puluh tahun. Waktu yang sangat panjang dari episode ujian
hingga kesuksesan. Masa yang sangat riskan bagi tumbuhnya putus asa,
terutama bagi yang lemah iman.
Maka mari kita renungkan doa Nabi Yusuf a.s. : “Ya Tuhanku, pencipta langit dan bumi. Engkaulah pelindungku di dunia dan akherat. Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dna gabungkanlah aku dengan orang-orang salih.” (Qs. Yusuf: 99-101). []
*Penulis: @dwiboediyanto on twitter
Sumber : :: PKS PIYUNGAN | BLOG PARTAI KEADILAN SEJAHTERA ::